THE DIPLOMA DISEASE, ANTARA KLEPTO GELAR DAN KEJAHATAN INTELEKTUAL
4 min read
“MEMASANG gelar akademik dan nonakademik tanpa hak di depan atau dibelakang nama tanpa merasakan lelahnya belajar bukan saja dilakukan oleh mereka yang tidak mampu memasuki dunia pendidikan tinggi tetapi juga bagi mereka yang mampu secara finansial. Bahkan mereka memiliki status sosial yang baik. Dari kalangan birokrat, politisi, hingga mereka yang ‘memegang’ kekuasaan. Ronal Dore menyebutnya diploma disease ‘wabah’ gila ijazah. Disamping wabah pendidikan tetapi juga memiliki konsekuensi hukum,” demikian Dr. Salahudin Gaffar, SH., MH., Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Asyfi’iyah Jakarta/ Cendekiawan Muda Muslim/praktisi hukum.
Adalah Ronal Dore (1980) dalam Fariz Alnieazar, STAINU Jakarta, hemat saya catatan singkat penuh pesan moral yang kuat mengingatkan dunia pendidikan dan calon generasi intelektual masa datang. Betapa dahsyatnya bahaya penyakit yang disebut dengan the diploma disease yang muncul dari pengaruh positif dunia pendidikan.
Pierre Bourdieu (1988) dalam bukunya Homo Academicus berpendapat, (dalam Faris Alniezar, Generasi Kredensial, Homo Academicus) manusia pada masa kini tidak hanya melakukan kegiatan investasi saham dalam bentuk material. Tetapi juga symbolic capital. Ini adalah kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna dan kepentingan. Salah satunya pendidikan.
Lembaga sekolah menjadi wahana yang mujarab untuk mendongkrak status sosial.
Dengan bersekolah, harapan untuk mengubah nasib dapat terwujud. Seseorang sarjana,dipra-asumsikan memiliki kompetensi dalam bidangnya. Kompetensi yang terlembagakan dalam bentuk ijazah. Itu dapat menjadi arsenal ampuh untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan, dan akhirnya status sosial.
Masalahnya kemudian. Ada kecenderungan para pelajar/mahasiswa sekolah melulu demi mendapatkan ijazah dengan cara apa pun. Termasuk mengkhianati esensi belajar. Ijazah diburu dengan cepat, mudah dan murah, plus tanpa belajar. Ini menghilangkan karakter dasar mahasiswa atau sarjana sebagai homo academicus.
Dengan menjamurnya perguruan tinggi atau lembaga pendidikan. Maka membuat mudah mereka yang bermimpi menjadikan pendidikan sebagai investasi terbaik. Hanya saja bagi sebagian orang belum tentu beruntung (secara langsung) mengambil bagian dalam investasi tersebut. Bagi mereka yang mengalami penyakit the diploma disease maka tindakan potong kompas adalah pilihan amoral.
Memasang gelar di depan atau dibelakang namanya tanpa merasakan lelah di bangku kuliah. The diploma disease bukan saja bagi mereka yang tidak mampu memasuki dunia pendidikan tinggi tetapi juga bagi mereka yang mampu secara finansial. Bahkan mereka memiliki status sosial yang baik. Dari kalangan birokrat, politisi, hingga mereka yang ‘memegang’ kekuasaan.
Ada orang dengan modal 5 juta rupiah dia berani memasang gelar SE., MM di belakang namanya. Apakah dia pernah masuk bangku kuliah? Tidak sama sekali. Luar biasa.
Pergeseran tujuan pendidikan dari kepentingan keilmuan dan pengetahuan menjadi sebatas untuk mendapatkan gelar akademik. Pernah disinggung Ronald Dore (1980) jauh-jauh hari, dimana hal tersebut melahirkan penyakit sosial yang disebut ‘the diploma disease’ tersebut.
Masyarakat yang mengidap penyakit ini berorientasi mendapatkan gelar yang mentereng sebagai ‘modal simbolik’. Untuk menaikkan gengsi, meraih jabatan, atau merengkuh kekuasaan. Orientasi ini sangat melenceng jauh dari tujuan pendidikan.
Di dalam Undang Undang sistiem pendidikan kita telah ditetapkan aturan main termasuk syarat dan kriteria penulisan gelar. Hingga siapa saja yang berhak secara hukum menuliskan gelar akademik di depan ataupun di belakang namanya. Namun bagi mereka yang mengalami penyakit ini gelar akademik melalui lembaga resmi ini tidak cukup. Mereka akan terus mengejar gelar lain lewat jalur pelatihan atau lembaga sertifikasi lainnya. Jika dilakukan survei motifnya akan berujung pada potensi penyakit bernama the diploma disease ini.
Di dalam etika penulisan gelar itu. Pertama. Yang berhak menulis gelar disamping namanya adalah mereka yang lulus kuliah secara sah. Dengan kata lain mereka yang tidak pernah kuliah bahkan putus kuliah tidak berhak. Bagaimana jika masih atau sedang kuliah tetapi belum selesai. Untuk semua jenjang hingga setingkat strata 1 dan magister tidak berhak jika belum menyelesaikan pendidikan.
Bagaimana dengan mereka yang sedang menjalani pendidikan program strata tiga (S3)? Sependek catatan dan pengetahuan saya batasan tertinggi kegiatan akademiknya adalah setelah mereka lolos ujian proposal. Hingga 1 jurnal terindeks scopus tersubmit. Dalam kasus seperti ini maka pencantuman kandidat doktor ( Dr.c) apabila syarat tersebut dipenuhi.
Bagi saya pribadi diberbagai seminar dan proses belajar mengajar saya mengingatkan bahwa tujuan utama kuliah bukan mengejar ijazah. Akan tetapi prosesi upgrading kompetensi. Berapa banyak mereka yang memiliki kelainan jiwa dalam bahasa Ronal Dore disebut the diploma disease mencantumkan gelar berdampingan dengan namanya. Tetapi ijazahnya hasil pembelian di pasar kejahatan dan hal ini merupakan kejahatan serius. Tentu termasuk didalamnya bagi mereka yang mencantumkan gelar akademis disamping namanya tanpa hak.
Pasal 263 KUHP Ayat (2) jo. Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2005 dan UU No 12/2012 menyatakan, lembaga pendidikan tinggi yang memberikan ijazah palsu dan pemakai, serta yang membantu pembuatan ijazah palsu, dapat dikenai hukuman pidana 5 sampai 10 tahun kurungan dengan denda Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
Lalu berapa banyak pula mereka yang menulis gelar disamping namanya tetapi kapasitas kelimuannya tidak terlihat merepresentasikan kualitas ijazahnya. Dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan etika. Wallahu’alam! Tulisan ini nasihat buat diri dan mahasiswa saya. Bahwa pesan para ulama itu penting di renungkan. Para ahli ilmu itu lebih utama kedudukannya dari pada ahli ibadah.
Saya memahami bahwa dalam logika sebaliknya ibadah itu tidak akan ada nilai jika tidak dibimbing oleh ilmu. Senada dengan maksud tersebut bahwa ijazah tidak menjamin kapasitas keilmuan seseorang. Apalagi motif memiliki ijazah melenceng seperti apa yang disebut oleh Dore di atas.
Penampakan nyata gejala mereka yang terhinggapi penyakit sosial the diploma disease adalah mereka lambat puber intelektual dan di ranah public mereka ingin kelihatan seperti pakar dan orang pandai. Tetapi knowhow (pengetahuan) dibidangnya dibawah rata-rata, kecerdasan sosialnya minim. Maka jangan heran mereka mencantumkan seabarek “gelar” hasil sertifikasi kompetensi mereka yang diperoleh diluar jenjang pendidikan formal tanpa adanya perasaan tidak enak.
Dalam hal muncul permasalahan hukum. Maka ada tanggung jawab hukum secara renteng bagi dunia pendidikan dan oknum orang perseorangan jika ada pihak pihak yang membawa persoalan ke ranah hukum terkait ijazah dan gekar siluman tersebut. Maka berhati hatilah! Tapi tanggungjawab moral yang bersumber dari nurani adalah pengadilan tertinggi bagi mereka.*