Pilkada Bima 2024: Tanggung Jawab Moral, Momentum Menjaga dan Membangun Peradaban Mbojo
Pengantar
Pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden secara langsung adalah konsekwensi logis dari sistem politik menjadi arus utama diberbagai negara yang mengadopsi demokrasi sebagai instrumen sekaligus mekanisme berbangsa dan bernegara.
Salah satu prinsip didengungkan semua orang memiliki hak yang sama dalam menentukan hak pilihnya. Sang Kandidat yang dianggap mampu memperjuangkan kepentingan pemilih di ranah legislatif maupun eksekutif. Maka rakyat sepenuhnya berdaulat penuh.
Prinsip “one man one vote” yang berarti satu orang satu suara pun berlaku. Di sisi lain, adagium suara rakyat adalah suara Tuhan. Menyiratkan betapa suara rakyat menjadi sakral. Pada prinsipnya, semua konsensus bersama berbagai sistem tentu bagus. Hanya saja, itu tergantung dari kesadaran seluruh warga negara. Demokrasi dalam citanya yang ideal memang mulia. Akan tetapi fakta di lapangan tentu miris.
Dengan kata lain, bencana terjadi ketika prinsip tersebut beredar pada kondisi sosial masyarakat yang tidak sejalan dengan tujuan prinsip tersebut.
Bayangkan seorang tidak tamat sekolah dasar hak suaranya akan setara dengan suara seorang guru besar ilmu politik. Disinilah bukti bahwa demokrasi rapuh dalam membangun peradaban melalui proses politik. Ditengah kondisi demikian maka sangat kecil mengharapkan wakil di legislatif atau eksekutif yang berkualitas. Karena kualitas keterwakilan suara itu tidak fair (un apple to apple).
Itu sebab saya mengatakan pada beberapa seminar bersama dan diskusi terbatas.
“Suara terbanyak itu bukan representasi dari keterwakilan “aspirasi kebaikan”. Karena suara yang banyak (pemenang) datang dari mereka yang kurang akal dalam proses politik. Dengan asumsi mayoritas pemilih belum terpapar edukasi yang memadai.
Perjuangan untuk menjaga peradaban
Pasca runtuhnya sistem khilafah. Masuklah era jahiliyah modern. Aktivitas politik sejatinya sarana membangun peradaban manusia setidaknya manusia bisa saling memuliakan di atas prinsip equality before the human rights.
Setidaknya membawa manusia dari fase kegelapan pada fase ketercerahan dengan menempatkan harapan pada pejabat daerah terpilih tersebut akan berperan sebagai eksekutor visi dan misi yang telah dijanjikan dalam kampanye. Visi misi yang benar adalah yang dapat diukur (measurable) dan masuk akal (acceptable) sehingga dapat berkontribusi pada peradaban.
Figur yang memiliki kapasitas, topangan kompetensi, kemampuan mengeksekusi secara kolektif adalah hal yang sangat penting dan menentukan.
Tentu tidak ada pemimpin dipilih yang ideal. Plus minus pasti ada. Dalam kondisi demikian maka itu sebab saya mengilustrasikan cara memilih pemimpin setara dengan memilih jodoh. Dalam hal ini, Nabi MUHAMMAD Shallallahu alaihi wassalam mewanti-wanti agar memilih yang agamanya bagus. Minimal integritasnya baik dan matang kepribadiannya
Jika ada pemimpin yang sempurna maka dia hanya berpura-pura seperti seekor babi yang memasukan sesuatu ke dalam hidungnya agar kelihatan seperti seekor gajah (Liu Shao Chi).
Rotasi kepemimpinan sebagai solusi.
Kondisi Kabupaten Bima membutuhkan kesadaran kolektif atas persoalan penting yang telah hilang. Seperti degradasi moral dan pudarnya pilar budaya Mbojo. Dan hal akan diperbuat kedepan melalui pemimpin yang memiliki niat dan kapasitas baik. Degradasi moral persoalan yang paling disorot karena moral sejatinya adalah benteng dari kerusakan peradaban. Oleh sebab itu, ikhtiar dan do’a mesti sebangun agar ada perubahan. Rotasi kepemimpinan dari kelompok pendukung status quo dan kaum pragmatis ke para mujadid politik keniscayaan.
Penjelasan analisa singkatnya kira-kira begini. Kelompok penguasa sebelumnya sudah berapa lama berkuasa. Apa hasilnya secara kongkrit bukan stempel dari lembaga audit dan aprsiasi organisasi (NGO).
Persoalan sosial bagaimana trendnya. Keluhan petani soal pupuk dan harga bawang apa solusinya. Kualitas para pejabat yang ditempatkan pada posisi strat?
Seperti para Kepala Dinas bagaiman prosesnya. Jika data tersebut masih tetap pada posisi stagnan dominan kepentingan elite daripada kebutuhan rakyat. Maka sederhananya masyarakatnya (pemilih) dapat dipahami sebagai kelompok masyarakat yang tetap mempertahankan kegagalan.
Kelompok yang lain menghendaki perlu ada pembanding terkait capaian itu. Agar ada pembanding maka memberikan kesempatan kepada figur baru yang visioner adalah cara menjawab keresahan masyarakat soal kondisi sosial-politik dan ekonomi pembangunan serta hukum dan keamanan di Bima. Dalam bahasa yang ringkas saya menyebut peradaban.
Penutup
Saat ini di Bima. Mengutip Ibnu Khaldun, jika kita cinta kampung halaman maka kita harus berani berkata dengan jujur. Bahwa tanda tanda alam, pesan – pesan tak terucap lingkungan adalah tanda yang nyata bahwa kita sedang berada pada fase ketiga yakni fase kehacuran peradaban (Mukadimmah, Ibnu Khaldun Dalam Sarah, 2015)
Maka dari itu pilkada Bima 2024 kita harus memilih yang terbaik di antara pilihan terburuk. Agar kita tidak menjadi seperti Keledai masuk pada lubang (kekuasaan) yang sama untuk ke 3 kali. Saya ikut menyuarakan perubahan. Sebagai ikhtiar dan tanggungjawab moral untuk tanah kelahiran.
Kita boleh fanatik terhadap figur di atas alasan apapun termasuk trah keturunan tetapi fanatik buta itu yang haram. Karena hal itu menyesatkan sehingga kita tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Bertolt Brecht, mengatakan:
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik.”
“Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena dia yang tak mau tahu politik. Akibatnya adalah anak terlantar, perampokan yang terburuk korupsi dan perusahaan raksasa multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Santabe ta Kahaba Kanari di Samena na weki
Ini pandangan dan pendapat politik saya sebagai orang Bima. Sekaligus ini cara mengambil tanggung jawab secara moral untuk kampung halaman.
Ada nasihat sahabat saya orang Bima di Jakarta tentang puncak dari puncaknya bodoh (sampula) yakni :
Sampula sampake ha’a kone kama’a
Kita seharusnya bisa membedakan mana bara api dan yang mana emas. Itu bagian penting pesan dari salah satu filosofi dana Mbojo tersebut.
Kita sudah seharusnya mengakhiri kebiasaan bernostalgia dengan trah (keturanan) karena kita akan memilih seorang kepala daerah bukan memilih seorang raja.
Ada yang berbisik pada saya. “Pasangan No.1 lebih siap dan matang secara psikologis spirtual. Bukan kita menolak pasangan No. 2 tetapi belum waktunya”.
Na Karappa Nomor – 1
Dr. Salahudin Gaffar
Warga Bima di Jakarta