17 Januari 2025

DONGGONEWS.com

Kritis & Berkemajuan

Refleksi Atas Polemik Pengangkatan Kepala Sekolah Diduga Sarat Praktik Transaksional

Oleh: Makarau, S. Pd., M. Si

Dalam dinamika pendidikan, integritas kebijakan menjadi pilar utama demi menciptakan sistem yang adil, transparan, dan akuntabel. Namun, realitas sering kali menunjukkan wajah yang berbeda. Keputusan penetapan Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Sekolah yang diduga sarat dengan praktik transaksional memicu gelombang kekecewaan dan penolakan dari masyarakat.

Masyarakat yang selama ini mempercayakan pendidikan anak-anak mereka kepada lembaga sekolah berhak menuntut proses penunjukan kepala sekolah yang bersih dari kepentingan pribadi dan politik pragmatis. Penetapan yang dipenuhi dengan transaksi “di bawah meja” bukan hanya mencoreng nilai-nilai pendidikan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.

Praktik transaksional dalam penunjukan pemimpin sekolah mencerminkan fenomena pragmatisme kekuasaan yang menomorduakan kompetensi, integritas, dan dedikasi calon pemimpin. Keputusan yang diwarnai oleh kepentingan elit tertentu akan menciptakan efek domino yang merugikan sekolah. Kebijakan yang diambil tidak lagi berorientasi pada pengembangan mutu pendidikan, tetapi pada pemenuhan keserakahan hawa nafsu yang bersifat sesaat.

Masyarakat yang menolak keputusan tersebut bukan berarti melawan otoritas pemerintah, tetapi mereka sedang memperjuangkan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memerlukan kepemimpinan yang mumpuni, bukan sekadar figur yang hadir karena kompromi kepentingan.

Penolakan masyarakat ini menjadi alarm moral bagi pengambil kebijakan agar tidak bermain-main dengan masa depan generasi bangsa. Kepala sekolah bukan sekadar jabatan administratif, tetapi pemimpin moral yang harus memberikan teladan dan inspirasi bagi guru, siswa, serta masyarakat. Apabila proses penunjukan diwarnai oleh praktik transaksional, maka nilai-nilai luhur pendidikan akan hancur di bawah kerakusan segelintir pihak yang mengedepankan ambisi pribadi.

Pendidikan harus menjadi ruang yang steril dari praktik-praktik kotor. Jika masyarakat terus diam dan membiarkan keputusan yang tidak adil ini berlangsung, maka masa depan pendidikan akan berada dalam ancaman serius. Karena itu, suara kritis dari masyarakat adalah bentuk perjuangan menjaga integritas pendidikan, menolak normalisasi praktik transaksional, dan menuntut reformasi kebijakan yang berpihak pada kualitas dan keadilan.
Dengan lantang kita harus mengatakan, “Kami menolak keputusan yang mengabaikan nilai keadilan! Pendidikan bukan lahan transaksi, tetapi ruang pengabdian!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *