5 Mei 2024

DONGGONEWS.com

Kritis & Berkemajuan

Membaca Arah Gaya Politik Blangkon Jokowi di Tengah Pergerakan Restorasi Biru

3 min read


DALAM falsafah Jawa yang pernah saya tahu saat diajarkan mata kuliah filsafat ternyata blangkon itu ada dua jenis.

Pertama, yang sangat terkenal pada umumnya adalah blangkon Jawa. Kedua, ada blangkon Sunda (Jawa Barat). Apa bedanya? Jika diperhatikan blangkon Jawa jendolannya di belakang kepala. Jika anda pakai maka posisi benjolannya akan ada di belakang kepala. Sebaliknya dalam blangkon Sunda (Jawa Barat) benjolannya ada didepan.

Masih penjelasan dosen filsafat saya (Allahu Yarham). Bahwa dari bentuk blangkon itu menggambarkan simbolisasi filosofis karakter suatu masyarakat tertentu pada umumnya. Konon terkait blangkon Jawa itu dimaknai bahwa orang-orang Jawa itu jika di depan kita bilang nggih. Tapi di belakang kita sebaliknya antara lain menolak bahkan menolak sambil mengancam.
Yang disimbolisasikan dengan cara mengepalkan tangannya di belakang ( mengancam).

Berbeda dengan di Jawa Barat. Walau agak ‘halus’ dapat di ketahui sikap mengancam itu diketahui di depan. Pengalaman saya menangani perkara di Banten misalnya ditunjukan dalam, kalimat dikadek ku aing !, dalam bahasa Jawa setara dengan tak pateni (saya bunuh kamu)

Mana yang lebih sulit menghadapainya? Tentu yang memgancam di belakang.

Catatan memoar masa kuliah ini sepertinya sedang diperagakan oleh Jokowi ditengah drama yang tengah diciptakan para cukong politik dan militansi restorasi biru dengan mengusung isu perubahan.

Sebagai dalang ( para cukong politik ) membuat opini publik dimana Jokowi dipersepsikan bahwa dia sedang berseberangan dengan Megawati q.q. Ketum PDIP. Sebaliknya dibuat seolah mesra dengan Prabowo Subianto.

Dugaan saya grand designnya suara itu akan dipecah di tengah elektabilitas Anies melejit dan hal tersebut sangat mengubtungkan Anis dengan catatan jika pemilu berlangsung dengan JURDIL dan LUBER.
Jika isu perubahan itu tidak terinstitusionalisasi ke dalam mindset pemilih dengan baik dan ajakan perubahan itu ditolak maka banteng bisa-bisa berkuasa kembali karena suara pecah pada tiga kubu.

Kata kuncinya apakah isu perubahan yang di usung Nasdem dengan ikon Anies Baswedan serius? Jika serius maka artinya Surya Paloh tidak ada “main mata” dengan para cukong politik dibalik layar. Nah jika terjadi main mata maka Anies sebenarnya adalah hanya alat untuk memecah maka 2024 itu jatah Prabowo Subianto, itu yang saya maksud dalam tulisan saya sebelumnya 10+10 ( konsensus perpanjangan kekuasaan oleh pemilik kepentingan yang sama ) melalui tangan Prabowo Subianto, selanjutnya Gibran.

Sebaliknya jika keadaan di atas ( tidak ada proses main mata) terkonfirmasi dengan jelas maka Anies sangat berpeluang menjadi Presiden RI berikutnya. Karena gerakan moral dari para aktivis dan masyarakat sekarang menolak merah berkuasa.

Kembali kepada falsafah blangkon. Jokowi tidak menunjukan kesetiaanya yang sesungguhnya kepada siapa di babak akhir masa jabatannya. Karena bisa dipahami akan menimbulkan rawan tudingan macam macam seperti cawe cawe itu.

Dalam beberapa kebersamaan dengan Prabowo dan Ganjar, Jokowi memberikan bahasa isyarat dengan menunjuk Prabowo di depan publik. Sebagai orang Jawa yang berkarakter manut dari budaya ndoroisme Jokowi akan manut pada pihak yang membuat dia nyaman dan selamat, tapi pada posisi tertekan falsafah blangkon itu akan dipakai pada momentum yang tepat.

Siapa yang bisa tahu dan kapan di pakai? Hanya Jokowi.!

“Penyerahan” GR kepada kelompok PS belum bisa dimaknai secara penuh balas budi Jokowi kepada Prabowo. Itu bisa beralih menjadi “bingkisan penyenang” saja tapi di belakang layar dia akan tetap bersama kandang lama. Asumsi kedua bisa terjadi sesuai makna falsafah blangkon yakni adalah cara Jokowi memukul balik Megawati yang cenderung meremehkannya di beberapa forum. Asumsi kedua ini sepertinya lebih valid.

Perilaku, simbol, statement, bahasa isyarat adalah alat bantu komunikasi politik di tataran elit yang menghasilkan konsensus di belakang layar di atas prinsip tau sama tau (TST). (drsg@spiritualmotivation)

Jadi tidak ada saling khianat menghianat di antara para politisi. Yang ada adalah saling tahu sama tahu agar bisa saling mengamankan kepentingan dan dosa-dosa mereka terhadap rakyat.

Hanya saja faktanya di injury time siapa yang akan memukul dan siapa–yang akan dipukul dengan kepalan tangannya? Seperti dilosofi Blankon Jawa itu kita akan lihat pada hari H.

Sempalan selalu muncul, oportunis berkeliaran, calo berbaju bunglon banyak, dan ternyata tidak ada pendukung setia. Yang ada adalah asas NPWP (nomor piro wani piro) itu berlaku baku.

Mungkin itu sebab JF Kennedy berkata, “Jika masuk syurga itu harus lewat partai politik. Maka saya memilih tidak masuk syurga.”

Sebagai sesama orang Jawa Jokowi ada baiknya merenungkan nasihat mantan Presiden Soeharto agar tetap selamat.

Hormatilah Tuhan, Orang Tua, Guru dan ratu (Soeharto)

Wallahu’alam

Dr.H.Salahuddin Ghafar, SH.,MH
Dosen Pasca Sarjana Assyafi’iyah Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *