6 Mei 2024

DONGGONEWS.com

Kritis & Berkemajuan

Bisnis dan Kapitalisme Dalam Politik

6 min read

Lord Acton (1833) menyatakan ‘ Power tends to corrupt. Absolutely power absolutely. ( Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen). Pernyataan ini menjadi referensi paling populer dan dirujuk jutaan kali oleh para analis politik dunia bahwa bahasa sederhana dan lain dari kekuasaan dan kendak berkuasa meminjam istilah Frederick Nietzhe adalah instrumen untuk mengakumulasi modal dan bagaimana mengembalikan modal dengan menggunakan fasilitas kekuasaan.

Berbicara mengenai politik dan kekuasaan merupakan tema purba yang tentu tidak akan pernah ada habisnya. Semakin luasnya wacana politik dibicarakan meminjam istilah Michel Foucault menandakan bahwa secara semantik makna politik semakin cair, populer dan mengakar di kalangan akar rumput sebagai sebuah praksis sederhana dari kekuasaan. Jika dahulu di era orde baru bicara politik adalah tabu, terbatas bahkan dianggap subversif. Maka, di era reformasi bahasa batin dan kognitif publik diramaikan oleh pesta pora merayakan tentang kebebasan penuh berbicara politik. Tidak ada Intel, tidak ada restriksi dan intimidasi karena siapapun boleh bicara politik sebagai menu dan perbincangan sosial sehari-hari. Mulai dari kalangan orang awam seperti petani, buruh, nelayan, teknokrat, media massa apalagi aktor politik terutama menjelang pemilu.

Sayangya kedaulatan dan kebebasan penuh bicara politik dan kekuasaan di publik. Cenderung monoton dan kehilangan basis etikal dan refrensial. Tidak menyentuh esensi politik sebagai instrumen dan seni memajukan kesejahteraan umum dalam bahasa antropolog George Balandier. Publik lebih suka bicara sisi materialistik dari politik seperti jual beli suara, berapa kekuatan modal dan akumulasinya bukan substansinya seperti kemewahan dan kekuatan ide, gagasan dan program kerja aktor. Modal- modal  dalam politik baik modal simbolik, modal sosial dan modal ekonomi meminjam istilah Piere Bordieau sangat diperlukan  tetapi yang lebih mendesak adalah kompetensi politik.

Mayoritas masyarakat sudah hafal benar dengan skema dan siklus dari kegiatan politik seorang aktor dari awal mengajukan diri sebagai calon sampai menjadi pemenang akhir pemilu. Definisi politik menjadi reduksionis seperti yang dicetuskan Harold Laswell hanya berkutat dan dangkal seperti tentang siapa, mendapat apa, bagaimana dan dengan cara apa. Bukan siapa berbuat apa, mewariskan apa dan menghasilkan kesejahteraan dan kebaikan apa bagi publik seperti cita mulia Aristoteles.

Politik tidaklah sesederhana itu, karena setiap aktor memikul beban dan tanggung jawab agung. Entaskan kemiskinan, tegakan keadilan, bantu fakir miskin, naikan kualitas pendidikan, majukan ekonomi daerah dan yang paling penting distribusikan kesejahteraan di publik. Oleh karena itu seorang yang telah terpilih dan diberikan mandat oleh masyarakat. Penuhi janji politik, tunaikan kewajiban dan baktikan diri kepada yang memilih maupun yang tidak memilih. Hubungan timbal balik (mutualistik) ini dalam bahasa antropologi Bronislaw Malinowksy disebut resiprokal atau resiprositas harus dijaga dan dibudayakan agar yang terpilih dan memilih dapat saling memberi kontribusi.

Sejatinya menjadi politisi merupakan tugas mulia. Tidak boleh tercemar oleh intrik kebusukan politik uang yang transaksional dan menciderai prinsip kemanusiaan,kejujuran, dan keterbukaan yang dijunjung tinggi sebagai prinsip Vital demokrasi. kenyataannya politisi justru banyak terjebak pada praktek kotor kekuasaan seperti korupsi, suap dan gratifikasi. Gagal melakukan tugas legislasi, supervisi dan budgeting.

Bukan rahasia umum jika menjadi politisi di era demokrasi modern bukan perkara mudah dan sepele. Orang harus memiliki banyak tumpukan uang untuk membiayai diri dan tim politiknya. Uang bahkan diperlukan hanya sekedar untuk dapatkan nomor urut di partai. Belum kebutuhan sosialisasi, kampanye, biaya komunikasi politik dan beli suara. Situasi demokrasi tidak sehat ini memproduksi dan mereproduksi sejumlah perilaku dan budaya politik kapitalis lima tahunan.

Tidak ada pentas adu gagasan, uji kompetensi,kapasitas dan integritas. Publik tidak menyukai politik yang serius, alot dan Lika liku pernik debat. Mereka suka politik yang ringkas ada uang ada suara. Kepala, isi kepala, isi hati dan perut pun turut digadai dengan uang receh. Politisi miskin ide, miskin kompetensi dan modal sosial. Menyambut kondisi ini dengan riang gembira. Tinggal sebar uang seratus, lima dan dua puluh ribu. Suara dan dukungan pun dibungkus tanpa rasa pilu akan matinya martabat demokrasi.

Politik saat ini telah berubah bentuk, wajah dan watak menjadi kapitalisme. Siapa kuat dia menang dan politikus bermetamorfosa seperti seorang Leviathan raksasa rakus yang digambarkan oleh Thomas Hobbes. Demagogi politik di era reformasi semakin sadis praktek curang politik uang menggelinding tanpa kendali seperti Juggernaut panser raksasa yang hilang kendali seperti digambarkan dalam metafora Antoni Giddens. Politik telah menjadi ajang permainan adu keuntungan antar pemain yang terlibat. Tidak ada ideologi, cita dan aspirasi publik yang diperjuangkan. politik telah menjadi arena dan pasar sebuah bisnis.

Tidak sulit untuk menjawab bahwa politik adalah benar_benar sebuah bisnis. Banyak pihak yang memanfaatkan politik sebagai sebuah bisnis. Hasil yang didapat bisa berupa uang maupun kekuasaan. Setiap pihak berusaha menanamkan investasinya pada salah satu partai yang apabila menang maka ia dapat mempunyai akses ke pusat kekuasaan. Karena itu kita lihat bahwa partai-partai besar cenderung mempunyai modal yang besar pula. Padahal kalau kita kembali ke hakikat yang sebenarnya, partai hanyalah sekedar penyampai aspirasi rakyat yang uangnya berasal dari sumbangan suka rela rakyat. Jadi bisa dibilang partai politik adalah bentuk usaha non-profit yang penghasilannya pas-pasan. Kenyataan yang terjadi justru banyak partai besar yang mempunyai uang yang sangat banyak seperti layaknya perusahaan korporasi. Pastilah sumbangan yang diberikan sangat besar.

Para donatur inilah yang kemudian menjadi pemegang saham yang mengendalikan sebuah perusahaan yang bernama partai politik. Cara yang lain juga bisa dilakukan apabila kita ingin mendapatkan uang dari bisnis ini. Kita bisa menanamkan sejumlah besar uang sebagai investasi yang hasilnya didapat setelah kita terpilih nanti. Sehingga jangan heran jika para calon yang telah terpilih dengan sangat hinanya menerima suap, hadiah, ataupun mencurinya sendiri dari kas negara. Ini dilakukan sebagai pengembalian modal atas investasi serta memetik keuntungan dari investasi yang telah mereka tanam sebelumnya.

Semakin besar risiko suatu bisnis, maka semakin besar pula keuntungannya. Bisnis ini adalah bisnis yang sangat berisiko tinggi. Dalam bisnis ini apabila kita kalah, maka kita akan kehilangan segala-galanya. Uang yang telah kita investasikan akan hilang terbuang percuma dalam kampanye. Tetapi apabila kita menang, maka kita akan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat dari investasi yang telah ditanamkan. Orang yang bermain di bisnis ini adalah orang-orang nekat yangberani bertaruh banyak dan tidak takut akan risiko yang tinggi.

Jadi Jangan heran jika ada anggota parlemen yang gemar bermain judi, karena tipe bisnis ini memang cocok bagi penjudi seperti mereka.Di Amerika sebagai kiblat demokrasi pun kita lihat betapa perusahaan-perusahaan besar cukup mendominasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dari mafia sampai perusahaan multinasional ikut terlibat dalam bisnis ini. Bukan sesuatu yang heran jika pemerintah yang merasa sebagai pemimpin demokrasi itu selalu menekan negara lain bahkan tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan demi kepentingan para pengusahanya.

Sifat alami politik sebagai sebuah bisnis membuat kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah selalu berubah-ubah mengikuti strategi bisnis yang telah dijalankan. Pada masa menjelang pemilu dapat kita lihat begitu banyak sarana umum yang dibuat dan seolah-olah mereka benar-benar peduli pada rakyatnya. Semua itu dilakukan demi hari keramat yang bernama pemilu. Hari penentuan apakah bisnis kita itu berhasil atau terpaksa gulung tikar dan berpindah peran menjadi golongan yang bernama oposisi. Setelah hari itu berhasil dilalui dengan baik, mereka dapat berbuat sesukanya karena memang itulah inti dari politik. Kebijakan yang dibuat pun kemudian menjadi bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Ini semua mereka lakukan demi memenuhi janjinya, bukan kepada pemilihnya, tetapi kepada para penyumbangnya. 

Ini dilakukan untuk menjamin hubungan jangka panjang dengan para pemegang saham itu agar aliran dana mereka tetap lancar, sekalipun banyak pemilihnya yang kemudian dikorbankan. Untuk itu bisnis ilegal dan terlarang memang harus tetap ada dan tidak akan bisa dimusnahkan, karena di sanalah sumber dana potensial bagi perusahaan politik ini. Ini semua dilakukan demi menjaga keutuhan partai, keutuhan demokrasi, dan keutuhan negeri ini. Di lain pihak, orang yang telah terpilih pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Inilah saat di mana mereka mengambil keuntungan atas semua yang telah mereka korbankan. Akan menjadi hal yang sia-sia segala kritikan dan kecaman yang dilancarkan kepada mereka.

Partai politik mengorganisasikan segala sumber daya yang mereka punya dengan tujuan mencapai jumlah pemilih yang optimal, sehingga akhirnya mendapatkan keuntungan atas penjualan janji-janji politiknya. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga memberikan janji, imbalan, sogokan, atau apapun itu bentuknya agar mereka berhasil memenangkan bisnis yang sangat berisiko tinggi ini. Disinilah semuanya benar-benar dipertaruhkan.Lantas jika politik adalah sebuah bisnis, kenapa partai politik sebagai sebuah perusahaan tidak menjalin hubungan jangka panjang dengan para pelanggannya yang dalam hal ini adalah para pemilihnya? Seharusnya mereka peduli, karena pelangganlah yang harus diutamakan, bahkan kalau perlu mereka membuat customer service atau after sales service setelah pemilu selesai dilaksanakan.

Hal tersebut tidak dilakukan karena sifat alami dari bisnis ini yang memang berorientasi pada jangka pendek. Para calonnya yang hanya boleh menduduki jabatan selama jangka waktu tertentu membuat mereka berpikiran pendek dan cenderung mengambil keuntungan yang singkat. Segala permasalahan yang nantinya timbul setelah masa jabatan mereka berakhir bukan lagi menjadi tanggung jawab mereka. Lagipula masyarakat kita yang mudah memaafkandan mudah ditipu berkali-kali membuat merekalah pihak yang paling mudahdikecewakan. Suara rakyat hanya berguna pada satu hari saja, sedangkan selama lima tahun ke depan suara itu bisa saja dianggap sampah tanpa arti.

Oleh: Dr. Alfisahrin, M. Si ( Akademisi : Universitas 45 dan STIKES Mataram )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *