Pacuan Kuda Dari Tradisi Hingga Dugaan Eksploitasi Anak dan Maksiat
DONGGONEWS.com | Bima – Memiliki kuda pacu adalah sebuah tradisi atau kebiasaan masyarakat pecinta kuda di Bima dan Dompu. Bahkan dalam kepercayaan warga setempat, “Upa Mbua Ntau Taho” (Empat jenis Pusaka kita yang terbaik), diantaranya Kuda piaraan, besi pusaka, rumah, dan istri yang sholehah.
Selain menjadi tradisi dan kebiasaan bagi warga ujung Timur NTB ini, adalah hoby serta kebanggaan tersendiri bagi pecinta kuda pacu. Memiliki dan. memelihara kuda pacu tersebut telah menjadi turin temurun dari moyangnya mereka, maka akan sulit bila ada wacana yang mau menghilangkan, orang bicara hoby alias “gila kuda”, tidur, makan minumpun mereka bersama kuda. Seperti halnya penulis ini, konon moyangnya hingga orang tua Kandungnya H. Kako 1970-an memiliki kuda pacu lokal dengan nama tenarnya Angi Pari dan Wontu Wora, hanya saja tidak diwarisinya.
Terlepas dari itu, siapapun akan sulit untuk meniadakan kegiatan olah raga kuda hanya lantaran terjadi peristiwa meninggalnya joki cilik. Tapi khusus di Kabupaten Bima sudah menjadi program Wisata. Bila dibubarkan iven tersebut, maka tidak menjadi jaminan akan munculnya balapan kuda secara ilegal. Sebaiknya pemerintah termasuk organisasi Persatuan Olah Raga Kuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Bima, mencari dan memberikan solusi setiap ada masalah yang terjadi bukan membubarkannya.
“Disitulah peranan Pemerintah dan Pordasi, membuat aturannya, mengatur pelaksanaannya tentang juklak juknis, yang didalamnya memuat syarat menjadi joki terutama arena pacuanpun harus steril dari maksiat (Judi, miras dll). ‘Itu harus diatur melalui Perbup/Perwali atas usulan dari Podasi. toh juga yang punya kuda pacu itu kebanyakan pejabat dan pengusaha setempat,” ungkap H. Mustahid H. Kako
Pemiliknya bukan dari warga jelata. Mereka mengawasi dan memeliharanya kepunyaan majikannya, setiap bulan mereka digaji jhusus, begitu juga jokinya setiap kegiatan berlangsung. Intinya hoby aja mereka, bila ada kuda yang mendapat bendera (juara) hadiahnya tidak seberapa dibandingkan dengan biaya atau pengeluaran untuk kebutuhan kudan dan pendekarnya. “Karna tradisi dan hoby maka, jangan untuk menghilangkannya kegiatan itu,” ingatnya.
Soal dugaan eksploitasi anak, istilah ini relatif bagi Bima. Joki pun tentu memiliki hoby tersendiri. Bila orang tentang hoby, maka tidak ada penggantinya. Contoh, orang memiliki kendaraan, tapi kalau tidak ada hobynya memelihara dan merawatnya, maka kendaraan itu akan menjadi barang rongsongan. (DNC-01)