Merasakan Wisata Pluralisme Di Desa Mbawa-Donggo, Bima
DONGGONEWS.com | Jakarta – Kalau sekiranya Anda sempat berkunjung ke Bima – Nusa Tenggara Barat, cobalah berwisata ke sebuah desa tradisional yang unik, yakni Desa Mbawa, Kecamatan Donggo. Keunikan warga Mbawa tercermin pada ketahanan budaya, pluralitas agama dan kemajemukan praktik ritualnya. Kendati berbeda agama, namun etos toleran melekat pada kehidupan masyarakat yang mendiami dataran tinggi bagian barat Kabupaten Bima itu.
Mbawa memantulkan pesan-pesan moral di tengah cuaca intoleransi yang akut beberapa tahun terakhir ini, bahwa saling menolong dan menghargai antar sesama manusia, meskipun berbeda agama sungguh indah. Di desa ini terdapat penganut Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, termasuk kepercayaan lokal (parafu). Keberagaman ini tak menghalangi warga Mbawa untuk saling menebar kasih antar sesama.
Berwisata rohani ke Desa Mbawa, kita akan disuguhkan dengan ragam kekayaan spiritual, indahnya pemandangan disertai suasana alam yang tenang. Keramahan warga yang identik dengan pakaian tradisional berwarna hitam itu sangat memperkaya keistimewaan Mbawa. Para pengunjung akan merasakan atmosfir yang khas di kampung yang berhawa sejuk ini.
Ketika kita memijak tanah Mbawa, aroma kontemplasi khas pedesaan sangat terasa. Salah satu kearifan lokal masyarakat Mbawa dalam menjaga toleransi antar umat beragama, yakni ritual Raju, sebuah doa lintas iman saat musim tanam yang diikuti oleh kalangan penganut Islam, Kristen, dan parafu. Disini terjadi persilangan spiritual dalam bentuk sintesis mistik (mystic synthesis), sehingga melahirkan inklusivitas beragama.
Dalam disertasinya di Universitas Udayana – Denpasar berjudul Praktik Budaya Raju dalam Pluralitas Dou Mbawa Di Bima, Nusa Tenggara Barat (2016), Abdul Wahid menulis, praktik budaya Raju adalah ritual utama dan besar bagi Dou Mbawa(orang Mbawa). Mereka yang berbeda agama melaksanakan praktik itu secara bersama-sama dan periodik (setiap menjelang musim tanam), tanpa dilandasi dan dikendalai oleh perbedaan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dimungkinkan karena Dou Mbawa pendukung praktik budaya Raju yang berbeda agama itu diikat oleh prinsip Mori Sama (hidup bersama) dan satu spiritualitas lokal yang masih hidup bersumber dari kepercayaan Parafu.
Dalam catatan Abdul Wahid (2016), praktik budaya Raju memainkan peranan penting dalam dinamika masyarakat. Prosesi ini berlangsung selama 3 sampai 9 hari yang dimulai dari persiapan (pengkondisian) sampai kepada puncak ritual, mengambil tempat di ketinggian di mana Uma Ncuhi (rumah adat) terletak. Dalam prosesinya, Sando (tetua adat) memimpin dengan pembacaan mantra-mantra yang diiringi tarian-tarian khas seperti Mpisi dan Kalero, sesajian, Kasaro (doa-doa), pujian kesyukuran, dan perbincangan-perbincangan.
Praktik dan kreasi budaya ini bersumber dari kepercayaan leluhur, bergulir dan membentuk jalinan dalam perpaduan unik tradisi dan agama. Dalam jalinan itu terkandung sistem kepercayaan, pandangan dunia, visi sosial atau cita-cita hidup, serta gambaran mengenai kesejahteraan dan kedamaian, tulis Abdul Wahid (Direktur Alam Tara Institute) yang juga dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Ketika ada perayaan hari-hari besar keagamaan yang dilaksanakan di tempat ibadah masing-masing, kohesi masyarakat Mbawa terikat intim dalam peleburan suka cita bersama. Mereka yang berlatar belakang beda agama saling mengapresiasi, dan saling mengunjungi. Saat hari raya Idul Fitri maupun hari raya Natal, masyarakat Mbawa saling memahami, dan mengundang satu sama lain.
Potret toleransi pun terlihat pada unit keluarga, misalnya dalam satu rumah terdiri dari beragam keyakinan, namun tetap harmonis dan rukun, apalagi memang mereka serumpun, satu darah. Watak pluralitas masyarakat Mbawa didorong oleh kesadaran yang lebih membatinkan ruang titik temu (Kalimatun Sawa’) daripada terjebak dalam rasisme teologis.
Kesadaran titik temu menghadir dalam bentuk percakapan seputar cinta kasih tanpa harus memaksakan keseragaman. Bahkan ada beberapa orang Katolik di Mbawa, memakai nama bernuansa islami, walaupun katakanlah sudah dibaptis. Nama-nama yang berciri Islam seperti Ibrahim, Muhammad, Ahmad, Ismail terdengar disana.
Dalam penelitian bertajuk Kearifan Lokal Masyarakat Desa Mbawa Toleransi Beragama dalam Mewujudkan Toleransi Beragama, yang dimuat di Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (2016), I Made Purna mencatat nama-nama anggota masyarakat Mbawa yang menggunakan dua agama seperti nama Yohanes Ibrahim, Anderias Ahmad, Bernadus Abu Bakar Wrg Prote, Petrus Herman Fabianus Tabi, Ignatius Ismail, Matinus Tamrin, Markus Jafar dan lain-lain.
Untuk kaum perempuan akan memakai nama seperti Kristin Siti Hawa, Marta Maemunah, Marta Hadijah, Anastasia Nuraini dan lain-lain. Pada umumnya nama-nama tersebut digunakan oleh pemeluk agama Khatolik dan Protestan sebagai bentuk pengejawantahan terhadap sikap toleransi.
Lebih daripada itu, ikatan historis-emosional Dou Mbawa yang berlandaskan prinsip – seperti disebut Abdul Wahid sebagai Mori Sama (hidup bersama) bukan hanya dimanifestasikan dalam pesta Raju, tapi juga mewujud dalam tradisi Mbolo Weki (rapat bersama) untuk mendukung suksesnya acara Rawi Rasa (hajatan). Ketika menjelang acara sunatan, pernikahan, syukuran panen, kenduri, dan lain-lain, kerukunan antar umat beragama bersahutan dengan jiwa gotong-royong dan pengarusutamaan etika komunal untuk saling membantu, tanpa sekat-sekat agama.
Karakter toleran warga Mbawa pun diaksentuasi saat pembangunan sarana ibadah seperti masjid dan gereja. Artinya, warga antar umat beragama saling bekerjasama dan berkolaborasi dalam nafas kebajikan universal. Kearifan lokal yang diprasastikan oleh warga Mbawa membuat geliat kehidupan masyarakat berlangsung dinamis dan cinta damai.
Mbawa memang hanyalah sebuah desa kecil, namun mata air kearifannya dalam mengelola keberagaman dapat dialirkan ke titik-titik nusantara yang masih dihadapkan dengan gelombang intoleransi. Mbawa adalah sumber inspirasi dalam menjaga kerukunan lintas-batas hingga mengikat tali-temali kebangsaan dalam koridor Bhineka Tunggal Ika.
Penulis: Mawardin Sidik, Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS, Makassar. Pernah bekerja sebagai peneliti di BNPT. Analis Politik di Charta Politika.
Sumber : geotimes.co.id