PERISTIWA DONGGO 1972, DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI POLITIK DAN NILAI DEMOKRAKSI
Penulis : Dr. H. Ghazaly Ama La Nora, S.IP., M.Si
Sekilas Donggo Old and Now
DONGGONEWS.com | Jakarta – Suku Donggo adalah suku yang mendiami kecamatan Donggo Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Atau bisa juga disebut sub-etnis Bima. Bahkan Suku Donggo disebut sebagai penduduk pertama dan penduduk asli yang menghuni daerah Bima yang sering diistilahkan sebagai “Dou Donggo” (orang Donggo) yang berarti “orang gunung”. Suku Donggo terdiri dari 2 kelompok, yang dibedakan berdasarkan daerahnya, yaitu Donggo Ipa dan Donggo Ele. Daerah Donggo Ipa terletak di sebelah timur teluk Bima, sedangkan suku Donggo Ele terletak di sebelah barat teluk Bima. Suku Donggo berbicara dalam bahasa Bima-Donggo dengan 2 kasta bahasa, yang disebut sebagai bahasa halus dan bahasa kasar. Namun dalam tulisan ini, Donggo yang dimaksud adalah Donggo Ipa yang terletak di ujung barat Kab. Bima.
Narasi tentang Donggo old sangat menarik perhatian para peneliti, sejarawan, antropolog baik domestik hingga luar negeri. Sebut saja tulisan peneliti asing – Chambert-Loir (“Kerajaan Bima Dalam Sastra & Sejarah” – 2004); Maryam & Chambert-Loir (“Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima –2000), meskipun studi etnografis Dou Donggo hanya bagian tertentu dalam perspektif sejarah Bima – Dana Mbojo, namun bahan-bahan tersebut cukup membantu dalam memahami wacana kedonggoan. Literatur sejarah Bima banyak memuat catatan khusus tentang eksistensi Suku Donggo dalam percaturan kultural di Dana Mbojo maupun skala Pulau Sumbawa. Seperti dalam tulisan Abdullah Tajib (“Sejarah Bima Dana Mbojo” – 1995); Muslimin Hamzah (“Ensiklopedia Bima” – 2004) dan lainnya.
Secara historis dan kultural, etnis Donggo mengalami apa yang disebut sebagai ketegangan kreatif antara kutub tradisional dengan kutub modernitas. Sejarawan Barat – Peter Carey mengatakan bahwa kesultanan Bima adalah kesultanan Islam yang kesohor di kawasan timur Indonesia. Donggo sebagai sub-etnik yang khas, dan kerap disebut sebagai manusia asli Bima mengalami pergulatan panjang dalam perspektif kebudayaan. Kutub tradisional yang direpresentasikan lewat ajaran animisme dan ilmu tua kuno warisan nenek moyang memang masih terdapat di kalangan komunitas Donggo. Namun demikian Donggo juga dikenal dalam bingkai religio-kultur sebagai penganut Islam puritan sebagaimana orang Bima pada umumnya. Bahkan di Donggo, terdapat penerapan syari’at Islam yang cukup diterima oleh komunitas kultural Donggo multi-agama dengan dukungan institusi terkait yang legal-formal dan legitimated.
Berkaitan dengan hal itu, sejumlah peneliti dalam dan luar negeri pernah mengadakan riset terkait keunikan dan kekhasan konteks penerapan nilai-nilai syari’at Islam di Tanah Donggo. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Honest Dody Molasy – doktor alumni di salah satu kampus di Australia dalam tulisannya (bagian dari riset doktoralnya) berjudul “The Implementation of Islamic Law in Indonesia – What Should We Learn from Suku Donggo”,
Antropolog Amerika Serikat – Peter Just, dalam bukunya “Dou Donggo Justice: Conflict and Morality in an Indonesian Society (2000)”, juga mengupas adat dan budaya Donggo. Literatur tersebut mencerminkan bagaimana tafsir orang luar dalam narasi tentang etnis Donggo yang sudah masuk dalam ruang diskursus kultural di tingkat global.
Dalam khasanah keagamaan, Donggo tergolong unik. Nuansa toleransi dan multi-religi terasa kental. Perbedaan agama yang dianut di Kecamatan Donggo tidak membuat jarak dan gap psikologis antara pemeluk agama Islam dengan Kristen maupun aliran kepercayaan lokal lain. Di Bumi Donggo hingga jaman now, lonceng penganut agama Kristen dan beduk maupun suara adzan orang Islam terdengar menggema secara harmonis.
Kerukunan antar umat beragama di Donggo merupakan modal sosial-kultural yang sangat ideologis-strategis untuk mendukung pembangunan yang sedang menggeliat. Umat beragama di Donggo jarang terjadi ketegangan, meskipun ditimpa kondisi alam yang begitu keras. Kondisi damai yang tercipta di Donggo berkat sinergi antara tokoh lintas agama dan tokoh adat untuk mendamaikan persoalan secara kekeluargaan, menjunjung tinggi adat-istiadat. Secara etnologis dan sosio-antropologis, manusia Donggo adalah manusia yang memiliki dinamika tinggi karena tempaan alam begitu keras, namun penuh cita rasa damai. Hal ini tidak terlepas dari filosofi Dou Donggo yang luhur dan menjunjung tinggi silaturahim dan menghargai antar sesama.
Peristiwa Donggo 1972 dalam Perspektif Komunikasi Politik
Secara sosio-politik, juni 1972, daerah Bima dikuasai oleh sejumlah elite yang diatur oleh pusat – sebagaimana juga berlaku pada daerah-daerah lain di Indonesia di tengah cengkraman politik orde baru yang sentralistik. Proses sirkulasi kekuasaan elite di tingkat lokal maupun nasional dikondisikan oleh penguasa Jakarta. Struktur kekuasaan di daerah kebanyakan terkooptasi oleh sentralisme orde baru, tak terkecuali di Bima.
Saat Indonesia berada di bawah komando kekuasaan Orde Baru, elite bangsawan dan elite agama mengalami marginalisasi setelah kebijakan stabilitas politik dan keamanan diberlakukan oleh Soeharto. Dalam konteks kehidupan politik di Bima yang penuh tarik-ulur dengan kepentingan pusat melalui kooptasi dan cengkaraman ABRI (militer), birokrasi dan kuningisasi lewat Golkar dalam politik Bima menimbulkan pembangkangan sipil sebagaimana tercermin dalam Peristiwa Donggo 1970. Dalam gerakan sosial itu, masyarakat Donggo Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi Bupati Letkol Suharmaji. Dalam protes massa itu, pelaku gerakan menggugat Soeharmadji, berkeinginan mengangkat kembali Putra Abdul Kahir sebagai Bupati Bima.
Dalam konteks komunikasi politik, Soeharmadji menyampaikan pesan yang memicu provokasi publik. Nilai-nilai tradisionalisme Donggo terkesan diabaikan. Mestinya Soeharmadji sebagai komunikator, perlu membaca dan memahami khalayak Donggo dan masyarakat Bima secara umum sehingga terjalin rasa saling pengertian. Namun yang terjadi, justru menuai resistensi massa yang diwakili oleh rakyat Donggo sebagai konsekuensi dari efek buruk dari tindakan komunikasi Soeharmadi.
Soeharmadji adalah seorang elite militer (asal Malang Jawa Timur) yang menjabat sebagai Bupati Bima ketika itu. Awalnya, roda pemerintahan daerah Bima di bawah Soeharmadji berjalan biasa, mulus dan adem, tapi lambat-laun kemudian bergejolak lantaran Soeharmadji banyak mengumbar janji, tapi tidak ditepati, malahan pada level kebijakan pembangunan daerah cenderung berlaku diskriminatif. Ada politik peminggiran dan marginalisasi terhadap wilayah-wilayah tertentu sehingga menuai kritikan dan resistensi dari arus bawah. Hal inilah yang melahirkan gerakan protes dari rakyat Donggo yang saat itu terkesan mengalami marginalisasi dari aspek pembangunan (suprastruktur dan infrastruktur). Bahkan unsur-unsur tradisional yang melekat pada Donggo, tak mendapat tempat yang layak dalam bingkai historis dan aras kultural.
Dalam catatan sejarah Bima, Donggo dikenal teguh merawat tradisi. Segala hal yang berdimensi adat, budaya dan unsur-unsur tradisional melekat pada kaum Donggo. Karena Soeharmadji kurang atau minim kesadaran akan peta sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat, maka lahirlah ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan, bahkan Soeharmadji pula yang dikatakan telah membawa kabur barang-barang pusaka yang menjadi khazanah budaya Bima.
Diskriminasi kebijakan Soeharmadji tercermin pada penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik lokal yang didominasi “orang-orang kota”. Ditambah pula dengan jabatan srategis seperti Ketua DPRD, Kasospol, Kadis/Jawatan, sangat kental dengan warna loreng alias di-ABRIsasi dan dimonopoli kaum transmigran yang disetting dari pusat. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kemudian tambah subur, rotasi kekuasaan sebentuk kue jabatan hanya berputar di ‘meja makan’ keluarga pejabat. Dan Soeharmadji pun hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Sementara itu, masyarakat pinggiran semakin terpinggirkan, tergulung dalam spiral keterbelakangan hingga mempertajam kesenjangan masyarakat dan ketidakadilan yang akut.
Dalam studi Rangga R. R. (2011) lewat skripsinya di Universitas Negeri Malang bertajuk “Gerakan Masyarakat Donggo Tahun 1972: Kisah Dari Elit-elit Terkalahkan”, bahwa pada tahun 1970-an ketika Orde Baru mulai menanamkan kekuasaannya, yang memunculkan berbagai pergolakan yang memaksa masyarakat Donggo untuk berdiri berhadapan dengan pihak penguasa. Dengan sistem sentralisasinya, di mana otoritas penguasa masuk ke desa-desa terpencil sekalipun dengan militer sebagai penyokongnya. Konsep pembangunan yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru yang selalu dikaitkan dengan modernisasi sehingga hal-hal yang berbau tradisional harus dihapuskan karena dianggap menghambat pembangunan, terlebih lagi bila hal-hal tersebut dianggap merintangi penanaman kekuasaan, guna mencapai pemerintahan yang sentralistik.
Mis-komunikasi kebijakan Soeharmadji itulah yang memicu perlawanan masyarakat Donggo kala itu. Uniknya, gerakan perlawanan tersebut berbasis massa aksi kaum tani. Memang petani tergolong kelompok masyarakat yang pasif dan lugu dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Disinilah menariknya bagaimana respons petani terhadap suatu kebijakan yang dinilai sewenang-wenang. Walapun memang harus diakui, suntikan ide-ide perlawanan dan pengorganisasian massa ke dalam gerakan yang sistematis itu diatur oleh kelompok intelektual dan elite politik progresif.
Menurut Kartodirdjo (1984), dalam setiap pemberontakan petani, walaupun anggota dari gerakan itu adalah petani, akan tetapi pimpinan organisasinya berada di tangan kaum elite pedesaaan. Guru agama atau pemimpin mistik juga memainkan peranan penting dalam hampir semua pemberontakan besar – dalam arti relatif – yang tercatat.
Akumulasi dari kekecewaan masyarakat Donggo akibat dari tekanan dan ketidakadilan dari pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. Akhirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagai tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. Ali Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludin H. Yasin (Ledo) sebagai tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972.
Dalam konteks proses ideologisasi dan penggalangan massa aksi, diketahui Abbas Oya, aktivis mahasiswa jebolan Universitas Moestopo (beragama) yang malang melintang dalam pentas pergerakan di Jakarta itu kemudian pulang kampung (kebetulan baru tamat sebagai Sarjana Sospol), turun gunung mengadvokasi rakyatnya yang ditindas penguasa anti-rakyat. Ia berperan dalam memimpin rapat, penanaman ideologi gerakan dan langkah-langkah teknis berdemonstrasi. Lewat sebuah paguyuban pelajar dan mahasiswa Donggo Bima di ibukota, ia mendapat perkembangan isu aktual yang bekembang di daerah asalnya. Adapun H. Kako berlakon sebagai tokoh spiritual yang mensugesti massa demonstran lewat unsur-usur tradisional fitua (mistisisme Islam Bima), agar berani maju pantang mundur. Tuan Guru H. Abdul Madjid Bakry – seorang ulama Muhammadiyah memberikan spirit perlawanan yang berbasis Amar Makruf Nahi Munkar. Sedangkan M. Ali Ta’amin dan Jamaludin H. Yasin tampil sebagai agitator massa aksi, membela harga diri rakyat yang terkoyak dan menentang secara jantan penguasa yang dzalim.
Akhirnya massa aksi turun berjalan kaki menuju Bima (kota) pada tanggal 22 Juni 1972. Long march ribuan massa demonstran membentangkan spanduk yang berisi tuntutan diantaranya “Turunkan Soeharmadji”, “Angkat Putra Kahir”, “Soeharmadji Segera Angkat Kaki dari Bima”, “Soeharmadji Pembohong”, “Wahai Bupati soeharmadji, mana janjimu? “Kami datang menagih janji, bukan memusuhimu”, dan lain-lain.
Kinerja rezim yang melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap masyarakat Donggo yang tidak berdosa dengan kekuatan lebih kurang satu batalion ABRI dan POLRI yang didatangkan dari Kodam Udayana dan sekitarnya terekam dalam buku Ghazaly Ama La Nora (2008) berjudul Mutiara Donggo: Biografi Perjuangan Tuan Guru Abdul Majid Bakry terbitan NCI Press Jakarta, bahwa tindakan aparat yang kejam itu merupakan tindakan fasisme. Masyarakat Donggo yang turun secara damai jalan kaki sejauh 40 Km ke Bima (kota) untuk menagih janji bupati yang mau membangun infrastruktur, sarana dan prasarana jalan di Donggo yang tidak kunjung datang disambut oleh anggota DPRD dan aparat ABRI dan POLRI di Desa Pandai – Kec. Woha.
Demonstrasi itu merebak menjadi isu sentral yang mendominasi pembicaraan masyarakat Kabupaten Bima, serta tingkat elit, regional dan nasional. Media massa daerah maupun nasional ibukota, seperti Harian Kami, Harian Abadi, Suara Karya, Harian Buana, Harian Angkatan Bersenjata, Harian Sinar Pagi, Kompas, Harian Jayakarta, Sinar Harapan, Harian Terbit, Pos Kota, Majalah, RRI menurunkan beritanya dengan judul yang berbeda tentang peristiwa unjuk rasa Donggo, 1972. Bahkan media massa internasional seperti BBC London, dan VOA Amerika ikut memberitakan Peristiwa Donggo, kecuali TVRI sebagai representasi TV plat merah milik pemerintah.
Hampir semua media menurunkan berita dengan style masing-masing sesuai kepentingan korannya. Mulai dari yang datar hingga provokatif. Tentu saja Harian pro pemerintah beritanya agak tendensius dan provokatif, misalnya menulis headline, ”Donggo Berontak? Makar… Subversif…, ABRI Berhasil Tumpas Demonstrasi Bersenjata. ”Kedua harian yaitu Harian Kami dan Harian Abadi, yang cukup obyektif. Karena di Harian Kami, kebetulan Pemimpin Redaksi, Burhan D. Magenda (sekarang Guru Besar Fisip UI dan mantan anggota DPR RI Partai Golkar), kebetulan asal Dompu-Bima, sehingga ”Bukan Pemberontakan Demonstrasi Bersenjata. ”Sementara Harian Abadi menulis, ”Demonstrasi Akibat Ketimpangan Pembangunan.”
Dalam media Abadi, 1972 (11 Juli) tertulis berita “Ada ‘Pemberontakan’ di Bima”; Abadi, 1972 (14 Juli) “Rakyat Bima Tuntut Pembangunan yang Wajar”; kemudian Burhan Djabir Magenda, 1972 (6 Juli) mengulas Peristiwa Donggo bertajuk “Demonstrasi Orang Donggo di Bima Potret Sebuah Krisis” yang dimuat Harian Kami. Pada media yang sama – Harian Kami, 1972 (30 Juni) tertulis “3000 Penduduk Bima Demonstrasi Tuntut Mundur Bupati”; Harian Kami, 1972 (4 Juli) “Gubernur NTB Anggap Rakyat Donggo Berontak”; Harian Kami, 1972 (8 Juli) “Masyarakat Bima Jakarta Bahas Demonstrasi Donggo”; Mahasiswa Bima Jogja, 1972 (8 Juli), membuat surat pernyataan sikap berjudul “Operasi Militer saja Tidak Menyelesaikan Sebab-sebab Peristiwa Donggo” yang dimuat Harian Kami; Ahmad Muhtar, 1972, juga membuat surat pernyataan sikap berjudul “Tanggapan Mahasiswa Bima Surabaya tentang Demonstrasi di Bima” yang dimuat Abadi; Ikatan Pelajar Mahasiswa Donggo Bima (IPMDB) Jakarta yang diwakili Mustakim dan Israel, 1972 (31 Juli) melaporkan dengan judul “Tokoh Masyarakat yang Ditahan Tewas Karena Penyiksaan” yang dimuat Harian Kami; Sinar Harapan, 1972 (4 Juli) memuat judul berita “Demonstrasi Anti Bupati di Bima”.
Akibat dari demonstrasi itu, akhirnya para tokoh Peristiwa Donggo ditahan, dan dimasukkan ke dalam penjara. Demonstrasi adalah bagian dari bentuk komunikasi politik yang efektif di tengah kebuntuan pada masa itu. Gong Langgulu yang digunakan saat itu kendati bersifat tradisional, tapi sangat berperan strategis untuk memobilisasi massa. Walaupun mereka ditahan, tapi tokoh peristiwa Donggo sudah menyampaikan pesan dan nilai-nilai (values), tidak hanya bagi penguasa predator, tapi juga mewariskan pelajaran yang berharga bagi generasi muda. Pasca menjadi tahanan politik, mereka kemudian menikmati alam demokrasi, dimana ruang komunikasi berlangsung secara terbuka tanpa tekanan apapun.
Peristiwa Donggo 1972 dalam Perspektif Nilia-Nilai Demokrasi
Peristiwa Donggo 1972 dalam narasi demokrasi terjadi karena tidak ada akuntabilitas dalam pemerintahan Soeharmadji. Rotasi kekuasaan pun tidak berlangsung terbuka, hanya berputar pada elite-elite komparador saja di lingkaran orang-orang terdekatnya. Komposisi SDM pemerintahan yang mesti fair, namun rekrutmen politik berlangsung tertutup. Taka da meritokrasi, apalagi profesinalisme, sehingga pembangunan diberlakukan secara diskriminatif, dimana Donggo mengalami peminggiran ekonomi-politik.
Pemilu di era Orde Baru lewat agensi lokal bernama Soeharmadji beserta krooni-kroninya hanya ornamen demokrasi saja. Tak ada substansi dan transformasi nilai yang mereka lakukan. Akhirnya warga Donggo tidak menikmati hak-hak dasarnya dalam lanskap pembangunan daerah. Dalam kacamata itu, kita dapat menilai pemerintahan yang dijalankan oleh Soeharmadji mematikan kedaulatan, dan persamaan politik. Pada saat yang sama, Soeharmadji tidak membuka ruang konsultasi dan diskursus kewargaan, justru diatur oleh minoritas oligarki politik yang bersekutu dengan hegemoni militer.
Saat ini adalah masa-masa mengisi pembangunan. Peristiwa Donggo 1972 telah menjadi acuan dalam berdemokrasi yang membuka gerbang pencerahan kepada generasi muda Donggo kini dan masa depan. Berbagai anak Donggo telah mengisi ruang-ruang pengabdian ke semua lini, dari akademisi hingga politisi. Termasuk pengusaha, jurnalis, ulama, dan sebagainya. Menyikapi tahun politik jaman now, para putra putri Donggo dipersilakan berpartisipasi dalam hingar bingar demokrasi, namun tetap menjaga etika dan akhlak berpolitik. Janji-janji politik tidak ada masalah, sepanjang terukur dan berkomitmen kuat untuk merealisasikan semasa menjabat baik selaku eksekutif maupun legislatif. Moyang kita sudah memberikan hikmah pelajaran bahwa janji harus ditepati. Politik pada hakikatnya adalah wahana atau wadah untuk mengaktualisasikan ide dan gagasan dalam proses kebijakan demi kepentingan umat dan bangsa. Politik menjadi kotor sebagaimana dikatakan Niccolò Machiavelli karena aktornya, bukan politiknya. Karena itu, mari kita berpolitik yang berbasis pada moral agama dan kearifan lokal. Nabi Muhammad SAW pun berpolitik, yakni berpolitik untuk kemaslahatan umat. Contoh keteladanan politik Nabi Muhammad SAW, antara lain selalu mengedepankan musyawarah (bhs.Bima: mafaka), mengutamakan persatuan dan kesatuan (bhs.Bima: kasama weki), dan menomorsatukan kepentingan orang banyak ketimbang pribadi atau kelompok (bhs.Bima: Tohop Ra Ndai Sura Dou Labo Dana).