Merajut Ukhuwah ke-Donggo-an
Penulis: Dr. Ghazaly Ama La Nora
Jarimu adalah Harimaumu: Menegakan Etika Bermedsos
Ketika tulisan ini disusun bertepatan dengan dugaan penghinaan terhadap komunitas etnik Donggo yang diucapkan oleh oknum ASN di RSUD Sanolo – Kecamatan Bolo, Ermawati yang telah menimbulkan polarisasi dan keterbelahan masyarakat. Di satu sisi, ada demo besar-besaran yang menentang pelecehan itu, di sisi lain nggak perlu. Cukup diselesaikan secara hukum. Apalagi yang bersangkutan sudah minta maaf. Maka benar suatu kata bijak: Jarimu adalah Harimaumu. Yang popular dikatakan: Mulutmu Harimaumu.
Secara konten memang sangat disayangkan, karena tulisan di medsosnya tidak mencerminkan akhlak sebagai abdi negara. Kendati bagi dia main-main atau candaan, tapi itu sudah berlebihan. Bahkan itu sudah masuk labeling dan stigmatisasi yang buruk kepada komunitas tertentu. Sebuah spontanitas yang keliru.
Problemnya juga adalah bagaimana respons masyarakat Donggo terhadap peristiwa itu. Secara kultural, antara Kecamatan Donggo dan Kecamatan Soromandi adalah satu. Bedanya hanya administratif kecamatan saja. Saya sudah menulis di Buku Mutiara Donggo beberapa tahun silam, bahwa memang sangat riskan bagi masa depan khazanah tradisi kita, bilamana Satu Donggo dibelah dan dipecah-pecah menjadi unit politik-administratif baru.
Seolah-olah ada jarak budaya dan jarak historis antara Donggo dan Soromandi. Karena itu, peristiwa itu memberikan hikmah bagi rasa ukhuwah dan persatuan di antara kita. Kita mesti merenungi napak tilas sejarah, bagaimana pada peristiwa Donggo 1972, Donggo Atas maupun DonggoBawah bahu-membahu bersatu padu melawan kedzaliman pemerintah kala itu. Makanya dalam kasus kemaren, tidakperlu over tanggap yang berlebihan. Kita fokus untuk melawan musuh-musuh besar terkait pembangunan daerah.Pelecehan oknum tersebut tidak lantas objek yang hina menjadi hina benaran, justru yang menghina adalah menghina dirinya sendiri. Clear and clean. Selanjutnya biarkan polisi mengurusnya. Sebagai pelajaran kita semua, kita harus hati-hati, lebih bijak dan konstruktif dalam berselancar di media sosial.
Napak Tilas Peristiwa Donggo, Merajut Ukhuwah Ke–Donggo-an
Sejarah peristiwa Donggo 1972 sebagai serpihan sejarah gerakan sosial rakyat Bima di era orde baru punya energi tersendiri. Pada masa itu, daerah Bima dikuasai oleh sejumlah elite yang diatur oleh pusat – sebagaimana juga berlaku pada daerah-daerah lain di Indonesia di tengah cengkraman politik Orde Baru yang sentralistik dalam proses sirkulasi kekuasaan elite di tingkat lokal, juga nasional. Struktur kekuasaan di daerah memang kebanyakan terkooptasi oleh sentralisme Orde Baru, tak terkecuali di Bima.
Bagi peminat politik lokal, “Peristiwa Donggo 1972” itusudah menjadi penelitian para sejarawan dan budayawan baik orang Bima sendiri, maupun pakar dari luar daerah. Adapun secara spesifik tentang Donggo sudah ditulis peneliti asing – Peter Just – seorang Antropolog Amerika Serikat dalam bukunya “Dou Donggo Justice: Conflict and Morality in an Indonesian Society (2000)”.
Soeharmadji adalah seorang elite militer (asal MalangJawa Timur) yang menjabat sebagai Bupati Bima ketika itu. Awalnya, roda pemerintahan daerah Bima di bawah Soeharmadji berjalan biasa, mulus dan adem, tapi lambat-laun kemudian bermasalah lantaran Soeharmadji banyak mengumbar janji, tapi tidak ditepati, malahan pada level kebijakan pembangunan daerah cenderung berlaku diskriminatif. Ada politik peminggiran dan marginalisasi terhadap wilayah-wilayah tertentu sehingga menuai kritikan dan resistensi dari arus bawah. Hal inilah yang melahirkan gerakan protes dari rakyat Donggo yang saat itu terbilang mengalami marginalisasi dari aspek pembangunan (suprastruktur dan infrastruktur). Bahkan unsur-unsur tradisional yang melekat pada Donggo, tak mendapat tempat yang layak dalam bingkai historis dan aras kultural.
Sebagaimana dalam sejarah Bima, bahwa Donggo adalah sub-etnis yang khas, karena menurut para sejarawan (Bima) umumnya, suku Donggo termasuk penghuni yang paling awal menempati Tanah Bima. Segala hal yang berdimensi adat, budaya dan unsur-unsur tradisional memang sangat kental dengan Donggo. Karena Soeharmadji kurang atau minim kesadaran akan peta sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat, maka lahirlah ketidaktepatan dalam mengambil kebijakan, bahkan Soeharmadji pula yang dikatakan telah membawa kabur barang-barang pusaka yang menjadi khazanah budaya Bima.
Diskriminasi kebijakan Soeharmadji tercermin pada penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik lokal yang didominasi “orang-orang kota”. Ditambah pula dengan jabatan srategis seperti Ketua DPRD, Kasospol, Kadis/Jawatan, sangat kental dengan warna loreng alias di-ABRIsasi dan dimonopoli kaum transmigran yang disetting dari pusat. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)kemudian tambah subur, rotasi kekuasaan sebentuk ‘kue’ jabatan hanya berputar di ‘meja makan’ keluarga pejabat. Dan Soeharmadji pun hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Sementara itu, masyarakat pinggiran semakin terpinggirkan, tergulung dalam spiral keterbelakangan hingga mempertajam kesenjangan masyarakat dan ketidakadilan yang akut.
Pada tahun 1970-an ketika Orde Baru mulai menanamkan kekuasaannya, yang memunculkan berbagai pergolakan yang memaksa masyarakat Donggo untuk berdiri berhadapan dengan pihak penguasa. Dengan sistem sentralisasinya, di mana otoritas penguasa masuk ke desa-desa terpencil sekalipun dengan militer sebagai penyokongnya. Konsep pembangunan yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru yang selalu dikaitkan dengan modernisasi sehingga hal-hal yang berbau tradisional harus dihapuskan karena dianggap menghambat pembangunan, terlebih lagi bila hal-hal tersebut dianggap merintangi penanaman kekuasaan, guna mencapai pemerintahan yang sentralistik. (Rangga, 2011).
Kesalahan arah kebijakan Soeharmadji itulah yang memicu perlawanan masyarakat Donggo kala itu. Uniknya, gerakan perlawanan tersebut berbasis massa aksi kaum tani. Memang petani tergolong kelompok masyarakat yang pasif dan lugu dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Disinilah menariknya bagaimana respons petani terhadap suatu kebijakan yang dinilai sewenang-wenang. Walapun memang harus diakui, suntikan ide-ide perlawanan dan pengorganisasian massa ke dalam gerakan yang sistematis itu diatur oleh kelompok intelektual dan elite politik progresif.
Akumulasi dari kekecewaan masyarakat Donggo akibat dari tekanan dan ketidakadilan dari pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. Akhirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagai tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. Ali Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludin H. Yasin (Ledo) sebagai tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972. (Rangga, 2011).
Bagaimana proses ideologisasi dan penggalangan massa aksi itu berlangsung? Abbas Oya, aktivis mahasiswa jebolanUniversitas Moestopo (Beragama) yang malang melintang dalam pentas pergerakan di Jakarta itu kemudian pulang kampung (kebetulan baru tamat sebagai Sarjana Sospol), turun gunung mengadvokasi rakyatnya yang ditindas penguasa anti-rakyat. Ia berperan dalam memimpin rapat, penanaman ideologi gerakan dan langkah-langkah teknis berdemonstrasi. Lewat sebuah paguyuban pelajar dan mahasiswa Donggo Bima di ibukota, ia mendapat perkembangan isu aktual yang bekembang di daerah asalnya. Adapun H. Kako berlakon sebagai tokoh spiritual yang mensugesti massa demonstran lewat unsur-usur tradisional fitua, agar berani maju pantang mundur. H. Abdul Madjid Bakry – seorang ulama Muhammadiyah memberikan spirit perlawanan yang berbasis Amar Makruf Nahi Munkar. Sedangkan M. Ali Ta’amin dan Jamaludin H. Yasin tampil sebagai agitator massa aksi sehingga menggelora, membela harga diri rakyat yang terkoyak dan menentang secara jantan penguasa yang dzalim.
Akhirnya massa aksi turun berjalan kaki menuju Bima (kota) pada tanggal 22 Juni 1972. Long march ribuan massa demonstran membentangkan spanduk yang berisi tuntutan diantaranya “Turunkan Soeharmadji”, “Angkat Putra Kahir”, “Soeharmadji Segera Angkat Kaki dari Bima”, “Soeharmadji Pembohong”, “Wahai Bupati soeharmadji, mana janjimu? “Kami datang menagih janji, bukan memusuhimu”, dan lain-lain.
Kinerja rezim yang melakukan penindasan dan penyiksaan terhadap masyarakat Donggo yang tidak berdosa dengan kekuatan lebih kurang satu batalion ABRI dan POLRI yang didatangkan dari Kodam Udayana dan sekitarnya merupakan tindakan fasisme. Masyarakat Donggo yang turun secara damai jalan kaki sejauh 40 Km ke Bima (kota) untuk menagih janji bupati yang mau membangun infrastruktur, sarana dan prasarana jalan di Donggo yang tidak kunjung datang disambut oleh anggota DPRD dan aparat ABRI dan POLRI di Desa Pandai – Kec. Woha. (Ghazaly, 2008).
Tindakan represif yang dilakukan penguasa Soeharmadji, menurut Mustahid (2014) sebenarnya hanya pengalihan isu sebagai upaya menutupi kasus KKN yang ia dilakukan. Bukan rahasia lagi Kayu Jati di Tololai – Kecamatan Wera, diangkut ke Pulau Jawa dan dijual ke luar negeri, serta menguras habis benda-benda purbakala yang disimpan di Museum ASI Istana Bima. Lalu untuk menggenapkan nafsu serakahnya ia menjual lagi halaman Museum ke orang umum. Peristiwa Donggo 1972 ternyata tidak bisa ditaklukkan begitu saja, walaupun ditebusnya lima tokoh Peristiwa Donggo dengan kurungan penjara bertahun-tahun lamanya. Berkat perjuangan tanpa mengenal mundur, pembangunan di segala bidang akhirnya dapat dinikmati dari generasi ke generasi sampai sekarang.
Menyerap Hikmah; Menatap Masa Depan
Hikmah yang bisa kita serap adalah dalam kasus oknum ASN di atas, itu sebenarnya delusi bahkan halusinasi. Artinya tidak berdasar. Kita tidak boleh sewenang-wenang menulis sesuatu di medsos yang bisa menyinggung orang lain. Donggo sudah melewati pergolakan sejarah yang panjang. Di era kontemporer, anak-anak Donggo sudah berkiprah di tingkat lokal, nasional bahkan dunia. Kita harus fokus bagaimana mentransformasikan sumberdaya yang ada untuk memajukan Tanah Donggo. Kaum intelektual yang bersarang di kampus-kampus maupun organisasi kemasyarakatan untuk terus mengartikulasikan kepentingan Donggo berbasis prinsip-prinsip idealisme.
Pemilu serentak 2019 sudah berlalu. Pesta demokrasi telah membuat kita bersilang pendapat akibat afiliasi politik yang berbeda. Dalam hal pileg, tentu di Dapil kita sudahterpilih utusan-utusan Donggo melalui instrumen demokrasi secara konstitusional. Kepada para elite politik diharapkan agar menepati janji-janji politiknya semasa kampanye. Politik wajib diarahkan ke jalur yang bisa membawa kemaslahatan bagi orang banyak lewat otoritas yang dimiliki agar suatu kebijakan yang dirumuskan benar-benar aspiratif, mengedepankan keadilan, non-diskriminatif, berkebudayaan dan melayani sepenuh jiwa.
Tak lama lagi kita akan menyambut Pilkada Bima 2020, disinilah momen kita bersatu, merajut ukhuwan ke-Donggo-an dalam bingkai ke-Bima-an. Tak ada lagi dikotomi Donggo atau Soromandi. Kedua wilayah kecamatan itu adalah Satu. Satu Donggo. Di media massa lokal dan nasional juga sudah bergulir Putra Terbaik Donggo yang akan berlaga di pesta demokrasi Bima nanti. Saya pun didorong oleh berbagai pihak untuk berkontestasi. Saya senang dengan munculnya keluarga besar Donggo yang lain untuk tampil di pertarungan politik. Mari kita saling mendukung. Serahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi kita.
Jangan lupa, sebagai kaum beriman, kita tidak hanya melakukan komunikasi horizontal antar sesama kita, tapi juga komunikasi vertikal, dalam arti memohon do’a kepada Allah SWT agar merestui ijtihad politik kita. Diawali denganmeluruskan niat, ikhtiar politik yang beretika serta menjunjung tinggi akhlakul karimah dalam berpolitik. Dengan cara itulah, kita menghadirkan warisan keteladanan yang baik bagi generasi kini dan masa mendatang, sehinggaleluhur pejuang-pejuang Donggo dari zaman Perang Kala, Peristiwa Donggo dan Gerakan Sosial Kebudayaan di setiap kesempatan ikut berbangga. Karena harga diri Satu Donggo adalah kunci untuk membangkitkan, memajukan dan memproyeksikan narasi dan aksi-aksi perubahan demi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur, dalam bingkai ke-Bima-an dan ke-Indonesia-an.
Daftar bacaan:
- Ama La Nora, Ghazaly. 2008. Mutiara Donggo :BiografiPerjuangan Tuan Guru Abdul Majid Bakry. Jakarta: NCI Press.
- Djabir Magenda, Burhan. 1972 (6 Juli). DemonstrasiOrang Donggo di Bima Potret Sebuah Krisis. Jakarta: Harian KAMI.
- Just, Peter. 2000. Dou Donggo Justice: Conflict and Morality in an Indonesian Society. Rowman & Little field Publishers.
- H. Kako, Mustahid. 2013. Peristiwa Donggo di PentasNasional Tahun 1972: Mengungkap Peristiwa Penangkapan, Penyiksaan dan Hukuman Semasa Orde Baru. Mataram: Lombok Post.
- Rangga R. R. 2011. Gerakan Masyarakat Donggo Tahun 1972: Kisah Dari Elit-elit Terkalahkan. Skripsi. Malang: Universitas Negeri Malang.
- Drs H.Mustahid H.Kako, MM, Ghazaly Ama La Nora, 2017. Peristiwa Donggo 1972, Sketsa Pergolakan Politik Bima Era Politik Orde Baru.
(Materi ini diberikan pada diskusi Merajut PersatuanKedonggoan di Kecamatan Donggo, yang diselenggarakanLASDO Kabupaten Bima, 24 Agustus 2019.)