9 Desember 2024

DONGGONEWS.com

Kritis & Berkemajuan

Politik Kejam Sekaligus Lembut

Politik santun hanya sebuah asa. Jangan harap terwujud. Realitas politik kepentingan. Ketika kepentingan berbenturan dengan kepentingan lain. Melahirkan kepentingan baru. Kepentingan baru difalsifikasi (dipupus) kepentingan terbaru. Seterus berputar dalam cyclus tiada habis. Sehingga memunculkan diksi politik. ‘Dalam politik tidak ada sahabat sejati dan tiada lawan abadi.’ Yang abadi hanya kepentingan.

Machiavelli mendeskripsikan realitas dinamika politik secara telanjang, keniscayaan bermuka dua dalam politik. Bertindak kejam sekaligus lemah lembut. Malah merefleksikannya sehingga menghasilkan rekomendasi politik untuk penguasa Negara. Sebaliknya bertentangan dengan Plato, Thomas Hobbes, Johon Locke, Rousseau dan Imanuel Kant, politik bermoral.

  • Negara Harus Arif

Filsuf Yunani, Plato menyebut kodrat manusia bernegara. Hidup dalam masyarakat negara-kota. Disebutnya sebagai zôion politikon. Makhluk politik. Dalam buku The Republic Plato menulis tentang ide-ide negara ideal. Bertrand Russell menyebut negara utopis. Konsep negara ideal. Bagaimana negara ideal harus disusun. Sehingga siapa harus memimpin negara.

Teori Negara hasil kesepakatan diantara manusia dalam satu komunitas tertentu. Disebut juga, Kontrak Sosial. Sebuah perjanjian antara rakyat dengan pemimpin komunitas. Dipelopori Plato, Thomas Hobbes, Jhon Locke, Rousseau, dan Imanuel Kant.

Nagara ideal dimaksud Plato. Sebuah negara dan masyarakat menjalankan fungsi Ruler, Soldier dan People dengan sempurna.

Pertama, Ruler manusia memimpin Negara harus arif, bijaksana (Sophia). Seorang mempunyai kapasitas memahami ralitas secara utuh dan seimbang. Lalu mengambil keputusan berpihak pada rakyat. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16, mengatakan, “Government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.” Bukankan, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah hakiki negara demokratis.?

Kedua, Soldier. Orang memiliki keberanian melindungi negara dari ancaman eksternal maupun internal. Kesediaan melaksanakan perintah dalam menghadapi bahaya tanpa memperhatikan risiko pribadi. Sebuah kesediaan melindungi dan melayani negara merupakam hal ideal. Sebagimana dikatakan Erich Fromm,“I love, therefore I am.” Cinta, jawaban dari seluruh masalah eksistensi manusia. Konsep indah seharus dipegang para pelayan dan pelindung Negara. Jika mereka setia terhadap negara.

Ketiga, People. Masyarakat sesungguhnya orang-orang biasa. Para para petani, buruh, pedagang, pekerja kantoran, businessman. Bahkan konglomerat, mahasiswa-mahasiswi sekalipun. Percaya dan mengikuti para pemimpin tanpa melibatkan kepentingan pribadi. Sebuah masyarakat ideal mampu mengsubordinasi keinginan pribadi untuk tujuan lebih tinggi.

  • Negara Kejam Sekaligus Lembut

Berbeda dengan Plato. Niccolo Machiavelli (1469-1527), filsuf yang hidup pada zaman Renaisans, bertolak belakang konsep negara ideal. Plato berpangkal pada eidos kemudian memunculkan konsep negara ideal, Machiavelli berangkat dari realitas kehidupan politik dalam negara menentukan bagaimana negara harus dijalankan.

Jika Plato memiliki Politeia, Machiavelli punya Il Principle; Sang Pangeran. Melalui ini, Machiavelli mendeskripsikan realitas dinamika politik pada masanya secara gamblang. Misal, keniscayaan bermuka dua. Bertindak kejam sekaligus lemah lembut dalam politik. Malah merefleksikannya sehingga menghasilkan rekomendasi politik untuk penguasa negara.

Machiavelli, filsuf sangat jujur menulis tentang teori politik. Lebih jujur Soe Hok Gie yang menulis dicatatan hariannya,“Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lampu-lampu yang kotor.” Pemikiran filsafat politik Machiavelli berbicara pada tataran apa ‘senyatanya’ dalam politik, bukan apa ‘seharusnya’ ada.

Machiavelli menampilkan wajah politik penuh intrik, tipu muslihat, main sikut dan sikat. Serta bermuka-dua. Semua tindakan dalam politik, halal dan sah-sah saja. Taka da pembatas kategorisasi baik dan buruk. Moral-amoral nyaris kabur. Tidak ada garis demarkasi jelas. Melukai bahkan membunuh kawan atau lawan. Mempertahankan persahabatan, bersikap bijaksana sekaligus kejam. Menjajah dan melakukan kekerasan serta menipu menu harian dunia politik. Satu tujuan melanggengkan kekuasaan. Ia mendobrak legitimasi agama dan moral dalam politik.

Dalam berpolitik flexible. Politik, proses menjadi. Jalan yang tak berkesudahan. Pada mula, politik merupakan jalan menuju kekuasaan. Setelah kekuasaan dicapai, politik bertransformasi menjadi semacam “petugas keamanan”. Berupaya mengamankan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan cara dan tindakan tiada batas.

Di jalan menuju kekuasaan, ada main sikut, intrik-intrik, dan tipu muslihat. Juga saat menduduki kekuasaan, ada hasrat, keinginan serta upaya mempertahankan dan mengamankan kekuasaan dari ancaman dengan kekerasan. Mengintimidasi, menindas, menyiksa, memberedel pers. Membumihanguskan buku yang dapat menggoyangkan kursi kekuasaan. Serta tidak segan-segan menjadi “Malaikat Izrail” dengan serampangan mencabut nyawa manusia.

Machiavelli, mencontohkan kisah Oliverotto da Fermo dalam upaya merebut kekuasaan. Giovanni Fogliani paman sendiri. Setelah kematian ayahnya, Oliverotto diasuh oleh paman dari pihak ibunya, Giovanni. Giovanni membesarkan, menyekolahkan ke akademi kemiliteran. Saat usia sudah matang. Oliverotto berupaya menggeser kedudukan Giovanni sebagai penguasa di Fermo Italia.

Oliverotto mengawali dengan mengundang Giovanni dan jajaran. Dalam jamuan makan malam diakhiri pembunuhan massal oleh Oliverotto dan pasukan. Giovanni meninggal. Oliverotto naik tahta menjadi penguasa serta menciptakan ketakutan dalam pemerintahan dengan kekerasan demi mempertahankan kekuasaannya.

Begitulah politik. Membunuh kerabat sendiri suatu keniscayaan jika memang harus dilakukan. Tiada pilihan lain. Seperti ungkapan Machiavelli, yang sangat sering dikutip khalayak umum: “Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama. Kesemua ini tidak dapat digolongkan tindakan bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan ketakutan, namun bukan kemuliaan.”

Politik penuh intrik, tipu muslihat dan kebohongan juga mewarnai kehidupan Nusantara. Misalnya dalam Kerajaan Majapahit, bagaimana Dyah Halayudha menyebar berita bohong, menghasut dan mengadu domba panglima-panglima besar nan berjasa Majapahit. Kelicikan Halayudha ini menjadi sebab kematian para pahlawan pendiri Majapahit, seperti Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi. Ghazaly Ama La Nora (Sumber: Kompilasi Berbagai tulisan di Website/internet)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *