9 Desember 2024

DONGGONEWS.com

Kritis & Berkemajuan

Keberadaan New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh
Muhlis Jami Wamibin Colo
Advokat pada Law Office Tommy Singh Bhail & Partners di Jakarta

Kebijakan new normal saat ini banyak digaungkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, di tengah pandemi Covid-19 yang kian meluas dan menginfeksi jutaan orang di dunia, lebih dari seribu orang meninggal di Indonesia. Perekonomian yang mulai terguncang memaksa sejumlah negara melonggarkan kebijakan terkait mobilitas warganya masing-masing, termasuk Indonesia yang mempersiapkan memasuki masa new normal.

New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, hanya saja perubahan ini ditambah dengan menerapakan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Esensi dari new normal adalah penyesuaian pola hidup. Protokol kesehatan yang sering dijadikan rujukan dalam implementasi new normal adalah menjaga jarak sosial (social distancing) dan menjaga jarak fisik dengan orang lain (physical distancing).

Beberapa pakar kesehatan memprediksi bahwa vaksin bagi Covid-19 diperkirakan baru bisa ditemukan pada tahun 2021. Hal ini berarti kehidupan dalam suasana new normal harus tetap dijalani oleh masyarakat paling sedikit sampai pada tahun 2021, bahkan kemungkinan bisa lebih lama lagi.

Kebijakan mengenai new normal sudah dituangkan dalam Keputusan Kementerian Kesehatan RI Nomor HK 01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Kasus positif Covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih tergolong tinggi, meskipun jumlah pasien yang sembuh juga terus meningkat secara konsisten. Sampai saat ini, bahkan kondisi di Indonesia belum melewati puncak pandemi.

Jika mencermati panduan new normal yang dikeluarkan oleh Kemenkes di atas, sesungguhnya lebih memperlihatkan upaya untuk mengurangi risiko terpapar Covid-19, tetapi memang tidak menjamin terhadap tidak adanya penularan. Hal itu disebabkan resiko penularan bisa ditularkan oleh orang yang tanpa gejala (OTG). Fasilitas medis dan tenaga medis sendiri saat ini sudah cukup kewalahan menangani para penderita Covid-19 yang jumlahnya juga belum memperlihatkan kurva landai atau bahkan menurun. Kondisi ini perlu dijadikan momentum untuk melakukan kajian secara menyeluruh dan perbaikan terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Banyak daerah terpencil masih mengalami kesenjangan dalam pelayanan kesehatan dibandingkan di kawasan perkotaan. Sementara, penanganan terhadap pandemi Covid-19 ini membutuhkan kapasitas pelayanan kesehatan dengan standar kualitas yang tinggi. Sistem hukum kesehatan yang ada saat ini juga masih jauh dari memadai untuk menjadi kerangka hukum kebijakan yang mampu mendukung sistem pelayanan kesehatan secara memadai dan komprehensif. Masih terdapat celah hukum disana sini yang belum mampu mendukung pelayanan kesehatan publik secara memadai, misalnya pengaturan mengenai keseimbangan hak dan kewajiban bagi para tenaga medis, perlindungan hak-hak pasien, pengaturan mengenai distribusi obat dan fasilitas kesehatan lainnya.

Pemerintah saat ini memang menghadapi dilema untuk tetap bertahan menuntaskan penanganan pandemi Covid-19 melalui sejumlah kebijakan PSBB di daerah-daerah yang terdampak, sampai kurva positif Covid-19 betul-betul menunjukkan angka penurunan berhadapan dengan tekanan krisis ekonomi yang melanda banyak negara terpapar Covid-19 termasuk Indonesia. Paling tidak, kini ada 10 (sepuluh) jenis usaha yang terpuruk sebagai dampak Covid-19, yaitu sektor hotel dan pariwisata; penerbangan; Meeting, Incentives, Conference, Exhibitions (MICE); rumah makan/restoran; bioskop dan konser; olah raga; mall dan ritel; consumer electronic; otomotif dan bahan bakar. Kondisi tersebut bisa memicu terjadinya dampak berikutnya ke sektor rumah tangga sebagai akibat gelombang massal PHK tenaga kerja. Jika dampak tersebut tak terkendali bisa berpotensi terjadinya anomali sistem sosial karena rumah tangga-rumah tangga kehilangan sumber penghasilan.

Jika mencermati kondisi yang terjadi sebagai dampak Covid-19 di atas, sesungguhnya kebijakan yang diambil pemerintah untuk menerapkan new normal dikhawatirkan lebih cenderung bias kepentingan ekonomi dari pada kebijakan yang mengharusutamakan faktor kesehatan masyarakat. Tetapi, dihadapkan pada pilihan sulit itu, pemerintah terlihat berusaha mengambil jalan tengah dengan tetap melakukan kebijakan new normal dikaitkan dengan kondisi tiap daerah yang dinilai sudah mulai mengalami kurva landai atau menurun dari Covid-19. Namun, tetap saja, faktor kedisplinan dan kepatuhan masyarakat yang akan menguji kesahihan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut, agar tak menyebabkan datangnya gelombang kedua Covid-19 seperti yang terjadi di RRT, Korea, dan beberapa negara lain.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *