Antara Donggo dan Soromandi
DONGGONEWS.com |Kota Bima – Memang Pemekaran kecamatan Soromandi-Donggo, merupakan pemisahan wilayah kekuasaan secara administrasi untuk menyelaraskan semangat desentralisasi (otonomi daerah) di era reformasi. Tapi menyisahkan masalah, bakal menjadi bom waktu bagi Kedua warga Kecamatan Soromandi dan Donggo pada masa yang akan datang.
Dalam buku biografi Tuan Guru H. Abdul Majid Bakry (2008), Dr. H. Ghazaly Ama La Nora, S.IP., M.Si, sudah menganalisis berbagai perspektif bahwa pemisahan Donggo-Soromandi, identik praktik adudomba. Belakangan hari akan menimbulkan pertentangan kedua kecamatan dan sekarang sudah mulai nampak terjadi gesekan. Contoh, soal munculnya mata hari kembar bakal calon bupati Bima, suku Donggo, terbelah dua.
Perlu diketahui oleh kita selaku Dou Donggo, pemisahan tersebut upaya orang ingin meniadakan nilai historis, idealisme, dan politis Kecamatan Donggo telah lama sejak zaman Orde Lama, tapi belum berhasil. Entah mengapa nama Donggo mau dilenyapkan dari peta wilayah Indonesia, kita tidak tahu. Yang jelas Kepala Swapraja (Bupati) H. Idris Jafar, 1961-1968 adalah orang pertama yang mau mengganti nama Kecamatan Donggo dengan Kecamatan Bolo Baru, atas usulan partai politik waktu itu, PIR, PNI, dan Masyumi.
Perubahan nama tersebut sempat diumumkan, namun Tuan H. Abdul Majid Bakry, segera menginterupsi kepada Kepala Swapraja agar mengurungkan niatnya mengubah nama Donggo. “Saya tidak setuju kalau nama Donggo itu diubah. Mengubah nama Donggo, berarti mengubah keputusan Allah!” tolak Abdul Majid.
Bukan sekadar interupsi, Abdul Majid juga melakukan demo besar-besaran. Massa Donggo turun berunjuk rasa ke kantor Swapraja Bima menentang kebijakan yang mengoyak-oyak nilai budaya warisan leluhur Dou Donggo (orang Donggo). Bukan perubahan nama yang diinginkan orang Donggo, namun bagaimana usaha pemerintah bisa memajukan pendidikan, perkebunan, pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Melihat aksi yang dilakukan oleh masyarakat Donggo, pemerintah Swapraja membatalkan keputusan mengubah nama Donggo dengan Bolo Baru. Dengan demikian, nama Kecamatan Donggo tidak jadi diubah. Justru untuk mengambil hati orang Donggo, pemerintah membangun Sekolah Rakyat 6 tahun di setiap desa diikuti pembukaan lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan lainnya.
Namun sangat disayangkan justru pada kondisi sekarang, di era reformasi, Kecamatan Donggo dipecah menjadi dua bagian yaitu Kecamatan Donggo dan Kecamatan Soromandi. Hal ini sempat menimbulkan pro-kontra di antara warga masyarakat. Karena itu berbagai analisis pun muncul.
Pertama, segi politis yakni upaya untuk memecah-belah terhadap komunitas Donggo agar persatuan dan kesatuannya runtuh.
Kedua, mungkin re-Swapraja Idris Jafarnisasi, mengingat keduanya berasal dari keluarga istana kerajaan. Sebab, sejak zaman kerajaan hanya orang Donggo yang membangkang dengan tidak mau membayar pajak ke istana karena hasil pajak itu akan disetor ke Belanda oleh raja. Hal itulah yang mengundang murka raja terhadap orang Donggo, sejarah Ompu Donggo-lah buktinya.
Ketiga, usaha sistematis menghilangkan relasi nilai historis dan idealisme masyarakat Dou Donggo Pesisir dengan Dou Donggo Atas. Pemisahan ini hampir dapat dipastikan akan menimbulkan sentimen geografis kewilayahan karena orang-orang pesisir akan menempatkan diri sebagai non-Dou Donggo. Bahkan tidak menutup kemungkinan antara kedua kecamatan ini akan bentrok karena perebutan wilayah. Paling tidak terjadi benturan budaya ‘atas’ dengan ‘bawah’ pesisir.
Keempat, dari sudut teori ilmu intelijen, ini merupakan salah satu taktik untuk melemahkan kekuatan lawan. Sehingga kekuatan mengecil, bahkan bisa menjadi senjata ampuh untuk diadu domba. Semoga tidak! [1]
Legal formal pemekaran tersebut memang hanya secara adimistrasi ketatanegaraan membagi kewilayahan. Tetapi secara kultural Donggo dan Soromandi, bahkan Donggo yang bermukim di wilayah nusantara, merupakan satu kesatuan budaya laksana dua sisi mata uang. Dalam sudut pandang budaya ketiganya seperti bayi kembar siam. Bisa dilacak dari jati diri dou donggo, tabiat, karakter, attitude, tidak terkontaminasi jati diri etnik lain.
Namun harus diakui, kita sangat minim pemahaman dalam memahami konteks perkembangan Donggo secara historis. Akibat kurangnya literasi mengenai Donggo, mahasiswa dan ilmuan Donggo kurang berminat menulis tentang Donggo. Sedangkan orang di luar Donggo, rajin meneliti tentang Donggo. Inilah salah satu kelemahan kita, sehingga tidak banyak tahu tentang Donggo. Masih untung ada satu, dua orang generasi muda Donggo, yang mau menulis lewat otobiografi, biografi, skripsi, thesis disertasi, maupun orangtua yang masih hidup.
Sebut saja H. Abbas Oya, BA, yang penulis wawancarai, 19 Oktober 2019, secara historis ibukota kecamatan Donggo, di desa O’o. Otomatis pusat pemerintan kecamatan harus berada di ibukota kecamatan yakni desa O’o. Itu pula adanya kantor kejenelian (kecamatan) Donggo, tempoe doeloe terletak kantor Polsek Donggo, sekarang.[2]
Kantor tersebut pada era kepemimpinan Jeneli Sulaiman, yang disapa Dae Ema, kantor kejenilian dipindahkan sepihak oleh Dae Ema. Mungkin pertimbangan transportasi dan komunikasi birokrasi, jaman dulu susah sekali kendaraan yang naik ke Donggo. Akses jalan berbatuan, penuh semak belukar. Sedangkan jeneli (Camat) kebanyak orang asli Bima, Woha,Bolo, sekitar, tinggalnya pun di kampungnya. Untuk gampangnya Dae Ema bertugas, kantor kecamatan dipindahkan. Karena desa Bajo, strategis kemana-mana dekat, bisa via laut atau kendaraan roda dua dan roda empat serba dekat.
(Penulis: H. Mustahid H. Kako, Aktivis Politik, Penulis buku tentang Donggo, Pemerhati Donggo, Mantan Wartawan Lombok Post, tinggal di Kota Bima)
[1] Mutiara Donggo, Biografi Tuan Guru H.Abdul Majid Bakry (2008:76)
[2] Wawancara langsung penulis di kediaman H.Abas Oya, BA, di desa Doridungga (19/10/2019)